Sunday, February 12, 2017

Cerpen: Kacamata Bima

Tags

Oleh: Didit Setyo Nugroho


Setiap kali memandang papan tulis, Ngadi selalu gelisah. Kedua matanya tidak berfungsi untuk jarak lebih dari dua meter. Ia akan melihat kearahku dan saya memperlihatkan padanya apa yang gres kusalin dari papan tulis. Bu Asri, wali kelas kami, sudah mengizinkan Ngadi untuk mendengar saja. Setahuku Ngadi dulu pernah punya kacamata. Tetapi pecah dikala bermain dengan Wahyudi dan hingga kini belum mempunyai gantinya. Keluarga Ngadi memang hidup pas-pasan. Bapaknya seorang tukang batu. Ibunya menjual sayur dari rumah ke rumah di sepanjang bukit-bukit padas.
Karena gangguan matanya, Ngadi tidak sanggup membedakan wajah orang didepannya dengan jelas. Seringkali ibu guru yang bertubuh kecil dianggap sebagai temannya. Itu membuatku merasa geli namun juga sedih.
Apabila malam tiba, saya sering membayangkan kehidupan Ngadi. Di bawah temaram lampu minyak ia mengeja abjad dalam masbodoh rumah bambu. Aku ingin menolong Ngadi. Tetapi saya juga tidak mau merepotkan orang lain. Apalagi ayahku kini tidak ada di rumah. Lama saya merenung. Tiba-tiba mataku tertumpuk pada sisa selembar kulit. Selembar kulit materi wayang yang masih mentah.
"Ah, saya kan sanggup menatah!" gumamku pada diri sendiri. Sejak Sekolah Dasar, 'membuat wayang' menjadi pelajaran pelengkap yang wajib di daerahku. Tetapi hanya beberapa orang yang menekuninya sebagai pengrajin. Dulu ayahku juga pernah menjadi penatah wayang. Tetapi alasannya ialah penghasilannya sedikit, Ayah nekat merantau ke Jakarta mengikuti Pak Nasir yang telah jadi kontraktor sukses. Sejak itu setiap bulan Ayah sanggup mengirimiku uang hingga dikala ini.
Karena pernah mengalami kehidupan miskin, saya sanggup mencicipi derita Ngadi.
Kulit kerbau warna cokelat itu mulai kuraba. Aku mulai menentukan tokoh wayang yang akan saya buat. Akhirnya kuputuskan untuk menciptakan tokoh Bima.
Aku mulai memindahkan teladan di atas kulit. Aku mulai menatah satu per satu ornamen yang ada pada tokoh Bima. Aku juga mencoba memasukkan jiwa ke dalamnya menyerupai yang pernah diajarkan ayahku dulu. Hari ketiga saya sudah mencampur cat poster. Lalu menggoreskan gradasi warna dengan hati-hati.
Setelah tujuh hari, dengan tangan kecil dan keringatku, Bima pun bangun tegak gagah di hadapanku. Tinggal memasang penyu di rumah Pak Taru langganan Ayahku dulu. Oh ya Pak Taru ialah petugas koperasi yang menyediakan peralatan pembuatan wayang di desaku.
Pagi-pagi sekali saya membawa Bima yang telah kubungkus rapi menghadap Kepala Sekolah. Satu-satunya harapanku untuk menolong Ngadi. Sebab ia selalu menekankan untuk tolong menolong antar sesama. Bapak Kepala Sekolah menatapku, mukanya ramah kebapakan.
"Ada apa Budi," sapa beliau. Aku sempat heran bagaimana ia tahu namaku. Tetapi ketika kuikuti arah pandangannya saya jadi mengerti. Aku bangga menyerupai kehilangan kata-kata dihadapan beliau. Aku mengambil napas dalam-dalam untuk menenangkan pikiranku. Bapak Kepala Sekolah menanti dengan penuh kesabaran.
"Bapak pernah bercerita jika Bima itu tokoh simbol kebaikan. Juga mempunyai perilaku yang baik seorang murid terhadap gurunya."
"Iya, Bapak ingat betul itu amanat pertama Bapak dikala diangkat menjadi Kepala Sekolah disini," ia meyakinkan. Aku mengambil napas lega.
"Sebelumnya mohon maaf. Saya tidak tahu apakah langkah saya ini baik atau buruk," ujarku mulai lancar bercerita. Bapak Kepala Sekolah menatapku, dengan serius memperhatikan ucapanku. "Apakah Bapak mau membeli Bima yang saya buat dengan tangan dan keringat saya sendiri?" tanyaku penuh harap. Bapak Kepala sekolah masih menatapku dengan senyum yang khas.
"Coba perlihatkan."
Aku mengeluarkan tokoh Bima dari kantong kain dan menyerahkan kepada beliau. Bapak Kepala Sekolah menimang Bima di tangan kanannya sedangkan tangan kirinya memainkan tangan Bima. Beliau tersenyum puas.
"Untuk apa uangnya nanti?" tanya beliau.
"Untuk membeli kacamata," sahutku mantap.
"Kacamata untuk siapa?" tanya ia lagi.
"Untuk sahabat saya, Ngadi," jawabku.
Lalu tanpa diminta saya menceritakan keadaan Ngadi. Dahi ia tampak berkerut kemudian mengangguk dan tersenyum puas. Beliau menepuk pundakku dan berucap, "Kamu pantas untuk jadi Bima!" Hatiku menyerupai dilambungkan pada tempat yang jauh.
"Tolong kau panggil Ngadi kemari," perintahnya. Aku bergegas memanggilnya.
Setelah memberi beberapa pesan kepada Bapak Wakil Kepala Sekolah, ia mengajak Ngadi dan memilihkan kacamata yang cocok untuknya. Bapak Kepala Sekolah mengambil uang dari sakunya.
Begitu Ngadi menggunakan kacamata wajahnya kelihatan cerah.
"Terima kasih Pak, saya sanggup melihat lagi," ucap Ngadi tulus. Matanya berkaca-kaca dari balik kacamata gres yang dipakainya.
Bapak Kepala Sekolah juga tersenyum puas.
"Berterimakasihlah pada Bima. Itu hadiah dari dia."
"Bima siapa?" tanya Ngadi bingung.
"Bima Werkudara," jawabku kalem.
Matahari mulai meninggi tetapi begitu indah di mata Ngadi. *****

Sumber http://campusnancy.blogspot.com


EmoticonEmoticon